Ulangan Harian Bab 3
Berdiri di Depan Cermin Kaca
Sebuah Usaha Meningkatkan Minat Baca
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
bangsa Indonesia merupakan satu dari sekian banyak bangsa di dunia yang
memiliki minat baca rendah, dan ini bukanlah hal yang debatabel.
Kepastian tersebut setidaknya diperoleh dari laporan yang dikeluarkan oleh Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui Programme for
International Student Assessment (PISA) untuk tahun 2018 Indonesia berada
di posisi ke-74 dari 79 negara yang disurvei, dan data itu semakin menurun
berdasarkan laporan dari organisasi dan program yang sama di tahun 2015, yaitu
posisi 64 dari 72 negara. Data ini dipetik dari kalangan pelajar Indonesia yang
diyakini sepuluh dua puluh tahun yang akan datang diestimasikan menjadi
pemimpin bangsa ini, apalagi masyarakat umum. Miris, itu pasti.
Ibarat berdiri di depan cermin kaca,
membaca laporan tersebut tidak perlu juga kita histeris menolak, berkilah
memberikan berbagai apologi yang pada intinya membesarkan hati untuk membantak
kenyataan tersebut. Namun yakinlah, betapa kuatpun kita menyanggah penampakan
di dalam cermin kaca maka “tampang buruk’ itu tetap akan terlihat juga. Semakin
buruk, bila cermin tersebut kita hancurkan karena menampilkan tampang asli
kita, atau berusaha merubahnya sesuai dengan penampakan yang kita inginkan.
Lantas mengapa minat membaca
masyarakat kita demikian rendah? Bukankah masyarakat kita mayoritas beragama
Islam yang dalam salah satu ayat al-Qur’an jelas diperintahkan membaca. Iqro
bismi robbikal a’la “Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang Mahatinggi”
(Q.S.87:1)? Dan pertanyaan epistemologis pada akhirnya adalah bagaimana
meningkatkan minat baca masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan sekaligus
kenyataan ini setidaknya ada lima hal yang dapat dilakukan untuk membangkitkan
kembali minat baca di tengah-tengah masyarakat kita.
Pertama, kenali manfaat membaca. Mengapa
wahyu al-Qur’an yang pertama kali turun adalah perintah membaca? Tak pelak
pertanyaan teologis ini harus diajukan. Dan jawabnya karena dalam kegiatan
membaca terkandung banyak sekali manfaat bagi peningkatan sifat-sifat
kemanusiaan yang luhur, di antaranya sebagai bentuk menjalankan perintah Allah
Tuhan Yang Maha Kuasa, menumbuhkan akal rasional dan menjaga akal keluar nalar,
memandu tindakan mencapai tujuan, dan membangun peradaban. Dengan mengenali dan
mengetahui manfaatnya maka seharusnya tidak ada lagi alasan bagi seseorang
melalaikan membaca, minimal ia menyisihkan sedikit waktunya yang berharga untuk
membaca. Ibarat meminum jamu pahit yang mungkin tidak semua orang suka, namun
begitu ia mengetahui manfaat dan khasiatnya mungkin ia akan berebutan dengan
yang lain untuk meminumnya. Dan ini sudah menjadi hukum dalam kehidupan, bahwa
kebanyakan kita akan mengerjakan sesuatu bila telah tahu keuntungan dari apa
yang kita kerjakan itu.
Kedua, sediakan fasilitas membaca
yang baik. Bicara fasilitas membaca setidaknya ada dua hal, pertama apa yang
dibaca dan kedua tempat membaca. Apa yang dibaca sudah barang tentu buku,
meskipun bisa juga yang lain, dan bicara tempat membaca sudah pasti
perpustakaan, meskipun juga bisa di tempat lain. Hampir semua kita bisa
memberikan penilaian atas kedua komponen ini. Ambil contoh terdekat adalah
Perpusda Kota Bekasi. Mengutip dari pojokbekasi (17/4/2021), perpustakaan
kebanggaan warga Bekasi ini hanya memiliki koleksi buku sekitar 30 ribuan buah.
Bila menurut BPS Kota Bekasi (2021) warga Kota Bekasi di tahun 2020 saja
berjumlah lebih dari 2,5 juta maka satu buku diperebutkan oleh sekitar 84
orang. Belum lagi letaknya yang “terpencil” yang tidak semua orang tahu. Bila
sudah begini, jangan berharap banyak masyarakat akan datang untuk membaca.
Ketiga, sediakan buku-buku
kekinian dan uptodate. Bukan rahasia bila perpustakaan di masyarakat
kita lebih mirip “gudang buku” tetimbang sebuah tempat yang menggambarkan
intelektualitas. Hadirnya kesan ini, salah satunya, karena koleksi yang
dimiliki mayoritas buku-buku tua dan outofdate. Padahal, Penerbit
Gramedia saja mampu menerbitkan lebih dari 200 judul buku baru setiap tahunnya
(kumparan, 23/4/2017), belum penerbit yang lain. Itu artinya, buku-buku baru
hadir ke tengah-tengah masyarakat cukuplah besar. Mengapa ketersediaan
judul-judul buku baru tersebut tidak tergambar dalam perpustakaan?
Keempat, maksimalkan daya beli
buku masyarakat. Bukan rahasia bila daya beli masyarakat kita rendah. Menurut
Syarif Bando, sebagaimana dikutip dari tribunnews.com (22/3/2021), standar
UNESCO minimal 3 buku baru (dimiliki) untuk setiap orang setiap tahunnya. Di
negara Asia Timur, jelas Kepala Perpusnas ini, seperti Korea, Jepang, China,
rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap orang setiap tahunnya. Ini,
jelasnya, menjadi tantangan bagi negara dan paling mendasar kenapa budaya
membaca di Indonesia rendah. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan
platform e-commerce global Picodi.com, sebagaimana dikutip
databoks (24/4/2019), sebanyak 63% masyarakat Indonesia membeli buku minimal
satu dalam setahun. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam
sebesar 60% dan Singapura 51%. Namun, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan
Thailand yang mencatat skor 79%, Malaysia 76%, dan Filipina 69%.
Lalu solusinya bagaimana?
Maksimalkan peran pameran, book fair, dan bazzar-bazzar buku yang banyak
diadakan dengan cara memberikan potongan harga yang dapat memancing daya beli
masyarakat. Karena sudah menjadi rahasia umum, dalam kegiatan tersebut harga
buku yang ditawarkan “tidak menggiurkan” bagi masyarakat. Kalaupun ada potongan
besar biasanya berlaku untuk buku-buku yang kurang diminati. Di sisi lain,
Perpusnas sebagai lembaga yang berhak mengeluarkan ISBN bagi setiap buku baru yang
terbit lebih memudahkan hibah buku kepada masyarakat, baik individu maupun
komunitas. Bila perlu, turut hadir dalam pameran atau bazzar buku dengan
menawarkan buku dengan harga menggiurkan.
Kelima, hargai mereka sesuai
dengan perannya. Terkait dengan kegiatan membaca, setidaknya ada tiga komponen
yang terlibat: (1) penulis, (2) penerbit, dan (3) pembaca. Berikan ketiga
komponen tersebut haknya, berupa penghargaan (award) yang dapat
memotivasi ketiganya dalam menjalankan perannya. Benar, saat ini beberapa
penghargaan telah diberikan kepada ketiga insan tersebut, baik yang diberikan
secara simultan maupun dadakan. Sebut saja IKAPI Award untuk penerbit, LIPI
Award bagi penulis yang bukunya diterbitkan oleh LIPI Press, Penghargaan
Sastra, Pemilihan Duta Baca, dan sebagainya. Namun, usaha tersebut hendaklah
terus ditingkatkan sehingga ketiga elemen dasar dalam kegiatan literasi
tersebut terus mendapatkan nutrisi untuk terus mengambil perannya secara
signifikan.
Inilah beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh siapa pun yang peduli terhadap perkembangan kemanusiaan di
Indonesia. Peran tersebut dapat diambil oleh pemerintah maupun swasta, oleh
individu maupun komunitas. Yang pasti, usaha untuk meningkatkan minat baca
masyarakat merupakan sebuah usaha yang harus segera dilakukan. Dan melakukan
kelima hal di atas adalah langkah awal ke arah itu. Semoga.
Bekasi, 02 September 2021
Komentar
Posting Komentar